Pada tanggal 10 April 2016
mendatang, bertepatan jatuh pada hari Minggu, Vihara Grha Buddha Manggala akan
kembali mengadakan Upacara Patidana Ching Ming Festival. Upacara seperti ini
rutin diadakan setiap tahunya oleh Vihara Grha Buddha Manggala, mengapa
demikian? Dan apakah wajib hukumnya bagi umat Buddha untuk melaksanakan upacara
ini?
Alasan yang cukup kuat untuk
pertanyaan tersebut adalah, bahwa umat Buddha perlu menanaman rasa
berterimakasih, atas apa yang telah dilakukan oleh para leluhur di jaman dulu
kepada kita. Menjadi tidak mungkin, hidup tanpa adanya leluhur yang telah
mendahului kita, dan tanpa disadari jasa para leluhur sangat besar atas
kehidupan saat ini.
Pertanyaan kedua, apakah wajib?
Dalam ajaran Buddha tidak ada kata atau istilah “wajib”, mengapa? Karena
dibalik kata wajib terdapat keharusan dan paksaan. Istilah wajib lebih
ditekankan pada “kesadaran”. Yang dimaksud dengan “kesadaran” disini adalah,
hendaknya upacara semacam ini disadari bermanfaat bagi diri sendiri dan para leluhur, karena dengan melaksanakan upacara
tersebut menjadi salah satu bentuk penghargaan atau wujud bakti kepada para
leluhur yang telah meninggal.
Pattidana dilihat dari sisi sejarah dalam ajaran Buddha
Dalam literature Buddhist,
berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, diceritakan bahwa pada suatu ketika
Buddha sedang menetap di Hutan Bambu Veluvana, tempat tersebut adalah hasil
dari kedermawanan seorang raja yang bernama Bimbisara. Raja Bimbisara merupakan
raja pertama yang menyatakan untuk menjadi penyokong dan pengikut Buddha.
Malam itu, raja Bimbisara melewati
malam yang sangat mengerikan seumur hidupnya. Ia tidak bisa tidur karena
mendengar lengkingan dan suara-suara hantu (peta) yang mengerikan di sekitar kediaman sepanjang malam. Menghadapi
kenyataan itu, Ia menjadi sangat ketakutan, hingga bulu kuduknya berdiri dan rambut
menjadi tegak. Ia sungguh ketakutan di malam itu. Karena merasa sangat
menderita, pada pagi harinya Raja menemui Buddha, di kediaman-Nya Veluvana.
Sebelum Raja menanyakan hal
menakutkan yang Ia alami, dengan kekuatan Buddha yang maha tahu, terlebih dahulu Buddha menanyakan tentang hal tersebut. Buddha memberi nasihat kepada raja untuk tidak merasa takut,
kejadian tersebut dikarenakan beberapa keluarga dari Raja dimasa lampau ada
yang terlahir di alam menderita (peta). Mereka mengharapkan pelimpahan jasa
dari masa ke masa, bahkan sejak masa Buddha yang lampau. Setelah bertemu dengan
masa Buddha lagi, yaitu Buddha Gotama, para peta ini sudah sangat menunggu pelimpahan jasa dari Raja. Karena rasa suka cita Raja melayani
Buddha dalam hal jamuan makan, Raja lupa melimpahkan jasanya kepada sanak
keluarga yang telah meninggal. Dengan sebab itulah, para hantu mengeluarkan
suara yang menyeramkan yang mengakibatkan Raja sangat menderita.
Mendengar hal itu kemudian Raja
Bimbisara dengan segera menyatakan undangan jamuan kepada Buddha dan para
Bhikkhu. Dengan tujuan, jasa yang nantinya diperoleh akan dilimpahkan kepada
sanak keluarga, para leluhur yang telah meninggal. Dengan harapan; “semoga atas
jasa yang Ku lakukan ini, dapat mengkondisikan sanak keluarga dan para leluhur
yang telah meninggal terlahir di alam yang bahagia”.
Atas kejadian tersebut setiap
kali Raja Bimbisara melakukan jasa kebajikan, Ia selalu melimpahkan jasa kebajikannya,
dan berharap semoga para leluhur dan semua mahkluk hidup berbahagia.
Dari kisah nyata di masa Buddha
tersebut, sampai saat ini Pattidana masih tetap di lakukan turun temurun oleh
umat Buddha dengan pengertian benar. Tujuannya adalah untuk menunjukan bentuk
bakti kepada para leluhur yang sudah meninggal.
Pattidana Ching Ming di masa Moderen
Sebagai umat Buddha, hendanya
memahami pengertian upacara pattidana secara benar. Jika tidak, maka akan
muncul pemahaman yang keliru, bahkan timbul sifat untuk mengabaikan upacara
tersebut. Memang, dimasa yang modern ini pattidana dilakukan dengan cara yang
lebih modern, dan dengan berbagai cara. Ada sebagian berdana dalam bentuk
barang, berdana dalam bentuk jasa, atau berdana dalam bentuk mata uang. Ynag terpenting adalah menjadikan momen pattidana sebagai sarana berbuat kebajikan.
Menyikapi fenomena tersebut
hendaknya seorang Buddhist memahami maknanya. Satu contoh; sebuah Vihara
mengadakan Pattidana Ching Ming, lalu meprioritaskan hasil dana Ching Ming tersebut
untuk tujuan yang bermanfaat; pembangunan vihara, penyempurnaan fasilitas,
dlsb, maka hendanya itu harus didukung dengan pemahaman yang benar. Pembangunan
gedung vihara contohnya, akan menghasilkan kebajikan yang sangat berlipat ganda.
Selama gedung vihara tersebut digunakan oleh umat Buddha untuk beribadah, maka
selama itu pula kebajikan dari menyokong pembangunan vihara akan terus mengalir
dan berbuah kebahagiaan.
Untuk itu apabila umat Buddha
menjumpai momen pelaksanaan upacara Pattidana Ching Ming Festival, maka
kesempatan yang baik itu janganlah disia-siakan. Selain sebagai latihan untuk
terus mewujudkan bakti kepada leluhur yang telah meninggal, juga sebagai sarana
dalam menambah perbuatan baik/kebajikan.
Undangan Terbuka Bagi Umat Buddha
Ditahun 2016 ini, seperti tulisan diawal pembuka di atas, Upacara Pattidana Ching Ming Festival
akan diadakan oleh Vihara Grha Buddha Manggala pada hari Minggu, 10 April 2016
mendatang. Mari gunakan kesempatan ini dengan baik. Mari bersama – sama kita
melaksanaan upacara, mengenang jasa mereka, para leluhur, sanak keluarga yang
telah meninggal. Dan yang paling penting adalah kita turut serta berbuat
kebaikan.
Berikut kami lampirkan formulir Ching Ming Pattidana 2016: