Vihara Grha Buddha Manggala kembali akan mengadakan tradisi yang dijalankan oleh para Buddha di masa lampau. Tradisi tersebut adalah Pindapatta. Mungkin sebagian umat Buddha awam belum begitu mengenal apa itu pindapatta, untuk itu admin VGBM akan menjelaskan pindapata secara singkat sebagai berikut:
Pindapatta berasal dari bahasa Pali, secara harafiah Pindapatta berasal dan
dua suku kata, yaitu: Pinda dan Patta. Pinda berarti gumpalan/bongkahan
(makanan) dan Patta berarti mangkuk makan. Jadi dapat diartikan pindapata
adalah pengumpulan makanan dengan mangkuk oleh para bhikkhu dari rumah ke rumah
penduduk. Namun demikian, mungkin dengan pengertian di atas diantara kita menjadi bingung. Dengan sederhana, Pindapatta dimasa sekarang dapat diartikan "berdana kepada Bhikkhu Anggota Sangha", terutama berdana dalam bentuk Empat kebutuhan pokok, meliputi; Jubah, makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal.
Sejarah Tradisi Pindapatta
Pada zaman dahulu, para petapa umumnya mengumpulkan dana makanan ke
rumah-rumah penduduk untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Begitu pula dengan
Sang Buddha, setiap pagi Sang Buddha dan rombongan para bhikkhu pergi
meninggalkan vihara, memasuki desa atau kota untuk berpindapata. Pindapata ini
merupakan suatu cara pendekatan masyarakat secara Agama Buddha. Tak jarang
ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berpindapata, masyarakat tertarik untuk
mengetahui lebih jauh tentang Sang Buddha atau para bhikkhu, seperti Upatissa
yang begitu terkesan melihat bhikkhu Assaji yang sedang berpindapata atau
Bahiya yang berpakaian kulit kayu (Bahiyadaruciriya) berjumpa Sang Buddha saat
Beliau berpindapata dan memohon Sang Buddha memberikan uraian Dhamma. Mereka
berdua pada akhirnya tertarik untuk menjalani kehidupan kebhikkhuan, Upatissa
kelak dikenal dengan nama Sariputta, namun kondisi karma buruk Bahiya berbuah,
Beliau meninggal diseruduk sapi (jelmaan Asura) ketika mencari perlengkapan
kebhikkhuannya, tetapi Bahiya telah mencapai tingkat kesucian Arahat setelah ia
mendengar beberapa kalimat Dhamma dari Sang Buddha.
Bagaimanakah asal mula dan tradisi pindapatta
ini bemula?
Pada tahun ketiga, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu atas
undangan dari Raja Suddhodana. Beliau beserta rombongan yang berjumlah dua
puluh ribu bhikkhu berangkat dari Rajagaha menuju Kapilavatthu.
Sang Buddha
beserta rombongan tiba di Kapilavatthu dan berdiam di Nigrodarama. Raja
Suddhodana dan penduduk berduyun-duyun menemui Sang Buddha. Karena mengetahui
bahwa para orang tua suku Sakya memiliki watak yang sombong, Sang Buddha
menunjukkan keajaiban ganda (yamakapatihariya) kepada mereka. Api menyala di
bagian atas tubuh Beliau dan air memancar dari tubuh bagian bawah dan
sebaliknya. Setelah orang-orang suku Sakya dapat diyakinkan bahwa Sang Buddha
telah mencapai ke-Buddha-an, kemudian Beliau duduk dengan tenang di tempat yang
telah disediakan.
Raja Suddhodana
menanyakan kabar Sang Buddha dan mengajukan beberapa pertanyaan lainnya kepada
Beliau. Di akhir tanya-jawab Raja Suddhodana berhasil memperoleh mata Dhamma
dan menjadi seorang Sotapanna. Berhubung tidak mendapat undangan makan di
istana, maka keesokan harinya Sang Buddha berserta rombongan memasuki kota
Kapilavatthu untuk berpindapata. Penduduk kota menjadi gempar. Memang mereka
sering melihat seorang petapa atau brahmana berpindapata, tetapi baru sekarang
mereka menyaksikan seorang berkasta Khattiya, putra dari seorang raja,
berpindapata. Berita ini sampai ke telinga Raja Suddhodana, dan raja segera
menemui Sang Buddha dan menegur Beliau. “Mengapakah anakku melakukan perbuatan
yang sangat memalukan ini? Mengapakah anakku tidak datang saja ke istana untuk
mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra raja meminta-minta makanan di
kota, tempat ia dulu sering berjalan-jalan dengan kereta emas? Mengapa anakku
membuat malu ayahnya seperti ini?”
“Aku tidak
membuat ayah malu, Oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kita,”
jawab Sang Buddha dengan tenang. “Apa, kebiasaan kita? Bagaimana mungkin! Tidak
pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan
anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”
“Oh, baginda, ini
memang bukan merupakan kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini
adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di jaman dahulu hidup dengan jalan
mengumpulkan dana makanan dari para penduduk.”
Setelah Raja
Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta rombongan mengambil makanan
di istana, maka berangkatlah Sang Buddha berserta rombongan ke sana.
Sabtu, 09 April 2016 Vihara Grha Buddha Manggala akan mengadakan Tradisi Pindapatta
Tepat hari Sabtu, 09 April 2016 mendatang akan dilaksanakan tradisi Pindapatta yang berlokasi di kompleks Penuin. Rute kegiatan dimulai dari Kantor Pemasaran Penuin, Toko Oleh-oleh, RM. Zhen Bao, Indo Thai, lalu kembali ke Kantor Pemasaran Penuin. Panitia jauh-jauh hari telah mempersiapkan untuk acara ini, dan diharapkan umat Buddha kota Batam khususnya dapat memanfaatkan kesempatan langka ini. Selain menyaksikan tradisi yang pernah dilakukan oleh Buddha dimasa lampau, poin yang paling penting adalah berbuat baik/kebajikan dengan berdana/memberi kepada Bhikkhu Anggota Sangha. Mari gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, dan jangan lupa hadir dalam acara Pindapatta yang dilaksanakan tanggal 09 April 2016 mendatang.